A. Perdarahan Post Partum
Perdarahan
post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah kehilangan darah melebihi
500 ml yang terjadi setelah bayi lahir. Pada umumnya seorang ibu melahirkan
akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai 500 ml tanpa menyebabkan
gangguan homeostatis. Secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang
melebihi 500 ml dapat dikategorikan
sebagai perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata
mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius.
B.
Tahapan Perdarahan Post
Partum
Perdarahan
post partum yang terjadi pada ibu setelah bayi lahir memiliki dua tahapan,
yaitu sebagai berikut :
1. Perdarahan post partum primer
Perdarahan post partum
primer merupakan perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah bayi lahir.
2. Perdarahan post partum sekunder
Perdarahan post partum
sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah 24 jam bayi lahir.
3
Hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi
perdarahan Post Partum :
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah timbulnya syok
3. Mengganti darah yang
hilang
C.
Hal-Hal Yang Menyebabkan
Terjadinya Perdarah Post Partum
1.
Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia
uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam berkontraksi
dengan baik setelah persalinan,sedangkan atonia uteri juga didefiniskan sebagai
tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir. Sebagian besar
perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia
uteri.sebagaimana yang diketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa
kehamilan adalah 500-800 ml/menit,
sehingga kita bisa bayangkan ketika uterus tidak berkontraksi selama beberapa
menit saja maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan
volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter.
Atonia
uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontaksi dan bila
ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta
menjadi tidak terkendali. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah
kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/
menit dari bekas tempat melekatnya plasenta. Bila uterus berkontraksi maka
myometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut
otot tadi.
b. Etiologi
Atonia
uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan factor predisposisi (
penunjang )seperti :
1) Umur yang terlalu muda
atau terlalu tua
2) Multipara dengan jarak
kelahiran pendek
3) Partus lama
4) Malnutrisi
5) Penanganan salah dalam
usaha melahirkan plasenta.
c. Tanda dan Gejala
1) Perdarahan Pervaginam
Perdarahan yang terjadi
pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering
terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena
tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti pembeku darah.
2) Konsistensi Rahim Lunak
Gejala ini merupakan
gejala terpenting / khas atonia uteri dan yang membedakan atonia uteri dengan
penyebab perdarahan lainnya.
3) Fundus Uteri Naik
Disebabkan adanya darah
yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal.
4) Terdapat Tanda-Tanda
syok
Tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
d. Penatalaksanaan
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan rangsangan taktil
(masase) fundus uteri. Jika terjadi atonia uteri tersebut maka perlu
dilakukan tindakan segera karna dapat menyebabkan perdarahan post partum.
Langkah – langkah dalam penanganan atonia uteri adalah sebagai berikut :
No
|
Langkah – Langkah
|
Alasan
|
1
|
Masase fundus uteri
segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik )
|
Masase merangsang
kontraksi uterus. Sambil melakukan masase sekaligus dapat dilakukan penilaian
kontraksi uterus.
|
2
|
Bersihkan bekuan darah
/ selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks
|
Bekuan darah dan
selaput ketuban dalam vagina dan saluran serviks akan dapat menghalangi
uterus berkontraksi secara baik.
|
3
|
Pastikan bahwa kandung
kemih kosong. Jika penuh dan dapat dipalpasi, lakukan kateterisasi
menggunakan teknik aseptik
|
Kandung kemih yang
penuh akan menghalangi uterus berkontraksi secara baik
|
4
|
Lakukan kompresi
bimanual internaselama 5 menit
|
Kompresi bimanual
interna memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan
juga merangsang myometrium untuk berkontraksi . jika kompresi bimanual interna
tidak berhasil setelah 5 menit diperlukan tindakan lain.
|
5
|
Anjurkan keluarga
untuk mulai membantu kompresi bimanual eksternal
|
Keluarga dapat
meneruskan proses kompresi bimanual secara eksernal selama penolong melakukan
langkah-langkah selanjutnya.
|
6
|
Keluarkan tangan
perlahan-lahan
|
|
7
|
Berikan ergometrin 0,2
mg IM ( kontraindikasi hipertensi) atau misoprostol 600-1000 mcg.
|
Ergometrin dan
misoprostol akan bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan uterus berkontraksi.
|
8
|
Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 cc RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin.
|
Jarum besar
memungkinkan pemberian larutan IV secara cepat atau untuk tranfusi darah.
Ringer Laktat akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama perdarahan.
Oksitosin IV dengan cepat merangsang kontraksi uterus.
|
9
|
Ulang kompresi
bimanual internal
|
KBI yang digunakan
bersama dengan ergometrin dan oksitosin atau misoprostol akan membuat uterus
berkontraksi.
|
10
|
Rujuk segera
|
Jika uterus tidak
berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, hal ini bukan atonia sederhana.
Ibu membutuhkan perawatan gawat darurat difasilitas yang
mampu melaksanakan tindakan bedah dan transfusi darah.
|
11
|
Dampingi ibu ketempat
rujukan. Teruskan melakukan KBI
|
Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan merangsang
myometrium untuk berkontraksi.
|
12
|
Lanjutkan infus RL +
20 unit oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500 / jam hingga tiba
ditempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 liter infus. Kemudian berikan
125 cc / jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 500 cc kedua
dengan kecepatan sedang dan berikan minuman untuk rehidrasi
|
Infus RL akan membantu
memulihkan volume cairan yang hilang selama perdarahan. Oksitosin IV akan
dengan cepat merangsang kontraksi uterus.
|
Sumber : JNPK-KR, 2012
2.
Retensio Plasenta
a. Definisi
Retensio plasenta adalah
tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit
setelah bayi lahir. Menurut perlekatannya retensio plasenta terbagi atas
beberapa bagian, antara lain sebagai berikut:
1) Plasenta adhesive
Implantasi yang kuat
dari jojot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2) Plasenta akreta
Implantasi jojot korion
plasenta hingga memasuki sebagian lapisan myometrium.
3) Plasenta inkreta
Implantasi jojot korion plasenta hingga mencapai
atau memasuki miometrium
4) Plasenta perkreta
Implantasi jojot korion
plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding
uterus.
5) Plasenta inkarserata
Tertahannya plasenta
didalam kavum uteri, disebabkan oleh kontriksi ostium uteri.
b. Etiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir
persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan
menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung
kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil
sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang
tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi
jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang
terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling
bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi
otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan
pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang
mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4
fase, yaitu:
1)
Fase laten, ditandai oleh
menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus
tempat plasenta melekat masih tipis.
2)
Fase kontraksi, ditandai
oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang
dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3)
Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta
menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom
yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang
aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat
melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4)
Fase pengeluaran, dimana
plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan
tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim.
Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan
akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya
fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta
lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah
yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus
meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke
vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah
dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus
menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan
interabdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak
dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan
artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa
dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan
tarikan ringan pada tali pusat
c. Factor-faktor yang
mempengaruhi pelepasan plasenta
1) Kelainan dari uterus
sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya
kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan
constriction ring.
2) Kelainan dari plasenta,
misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan
adanya plasenta akreta.
3) Kesalahan manajemen kala
tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum
terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik;
pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan
serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.
d. Penanganan Retensio
Plasenta
Penanganan
retensio plasenta dapat dilakukan dengan manual plasenta. Manual plasenta
adalah prosedur
pelepasan plasenta dari tempat implementasinya, pada dinding uterus dan
mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual. Arti dari manual adalah dengan melakukan
tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan
langsung ke dalam kavum uteri. Langkah – langkah penanganan retensio plasenta
adalah sebagai berikut :
1)
Melaksanakan
penatalaksanaan aktif persalinan kala III pada semua ibu yang melahirkan
pervaginam.
2)
Amati adanya gejala dan
tanda retensio plasenta.
3)
Bila plasenta tidak lahir
dalam 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi penatalaksanaan aktif persalinan kala
III dengan memberikan oksitoksin 10 IU IM dan teruskan penegangan tali puasat
terkendali dengan hati – hati. Teruskan melakukan penatalaksaan aktif
persalinan kala III 15 menit atau lebih, dan jika placenta masih belum lahir,
lakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya. Jika plasenta
masih tetap belum lahir dan ibu tidak mengalami perdarahan hebat rujuk segera
ke rumah sakit atau ke puskesmas terdekat.
4)
Bila terjadi perdarahan
maka plasenta harus segera dilahirkan secara manual. Bila tidak berhasil rujuk
segera.
5)
Berikan cairan IV : NaCl
0,9 % atau RL dengan tetesan cepat jarum berlubang besar untuk mengganti cairan
yang hilang sampai nadi dan tekanan darah membaik atau kembali normal.
6)
Siapkan peralatan untuk
melakukan teknik manual, yang harus dilakukan secara septik.
7)
Baringkan ibu telentang
dengan posisi lutut ditekuk dan ke dua kaki di tempat tidur.
8)
Jelaskan pada ibu apa yang
akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam 10 mg IM.
9)
Cuci tangan sampai ke
bagian siku dengan sabun, air bersih yang mengalir dan handuk bersih, gunakan
sarung tangan bersih / DTT.
10) Masukkan
tangan kanan dengan hati – hati. Jaga agar jari – jari tetap rapat dan
melengkung mengikuti tali pusat sampai mencapai placenta.
11) Ketika
tangan kanan sudah mencapai plasenta, letakkan tangan kiri diatas fundus agar
uterus tidak naik. Dengan tangan kanan yang berada di dalam uterus carilah tepi
plasenta yang terlepas, telapak tangan kanan menghadap ke atas lalu lakukan
gerakan mengikis kesamping untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus.
12) Bila
plasenta sudah terlepas dengan lengkap, keluarkan plasenta dengan hati – hati
dan perlahan.
13) Bila
plasenta sudah lahir, segera melakukan masase uterus bila tidak ada kontraksi.
14) Periksa
plasenta dan selaputnya. Jika tak lengkap, periksa lagi cavum uteri dan
keluarkan potongan plasenta yang tertinggal.
15) Periksa
robekan terhadap vagina jahit robekan bila perlu.
16) Bersihkan
ibu bila merasa nyaman.
17) Jika
tidak yakin placenta sudah keluar semua atau jika perdarahan tidak terkendali,
maka rujuk ibu kerumah sakit dengan segera.
18) Buat
pencatatan yang akurat
3. Robekan jalan lahir
a. Jenis robekan jalan
lahir
Perdarahan
dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik,
dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
1) Robekan Perinium
Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan
dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Perinium merupakan kumpulan berbagai
jaringan yang membentuk perinium. Terletak antara vulva dan anus, panjangnya
kira-kira 4 cm. Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma
pelvis dan urogenital.
Diafragma
pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian
posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani
membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis
superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut
otot berinsersi di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien
untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada
persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma
urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah
segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital
terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor
uretra dan selubung fasia interna dan eksterna.
Persatuan
antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh
tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis
transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang
membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering
robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat
yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa
puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi
akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap. Luka
perinium, dibagi atas 4 tingkatan :
a) Tingkat I
Robekan hanya pada
selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
b) Tingkat II
Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot
perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III
Robekan mengenai seluruh
perinium dan otot spingter ani
d) Tingkat
IV
Robekan sampai mukosa
rectum
2) Robekan Serviks
Robekan
serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir belakang
servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditariksedidikit untuk
menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan
catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan
3) Rupture Uteri
Ruptur
uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka
kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah
sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen. Ruptura uteri masih
sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak ditolong oleh
dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang benar,
sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus
uteri dan dapat mempercepat terjadinya rupture uteri.
Ruptura
uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya
regang miometrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul,
partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding
apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah,
diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai
kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
Resiko
infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini.
Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada para metrium,
kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan
komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak
sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam
kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada
partus lama atau kasep.
Ruptur
Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya
regang miomentrium. Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat
kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.
b. Etiologi
Robekan perineum
|
Robekan serviks
|
Rupture uteri
|
Umumnya terjadi pada
persalinan :
·
Kepala janin terlalu cepat lahir
·
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
·
Jaringan parut pada perinium
·
Distosia bahu
|
·
Partus presipitatus
·
Trauma karena pemakaian alat-alat operasi
·
Melahirkan kepala pada letak sungsang secara paksa, pembukaan
belum lengkap Partus lama
|
·
Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
·
Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang
lama
·
Presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen
bawah uterus ).
·
Panggul sempit
·
Letak lintang
·
Hydrosephalus
·
Tumor yang menghalangi jalan lahir
·
Presentasi dahi atau muka
|
c. Patofisiologi
1) Robekan Perinium
Robekan
perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan
menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat,
sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama,
karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu
lama.
Robekan
perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa
sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala
janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vaginial.
2) Robekan Serviks
Persalinan
selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda
daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas
mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila
terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap
dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan serviks uteri.
3) Ruptur Uteri
a) Ruptur uteri spontan
Terjadi spontan dan
sebagian besar pada persalinan. Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga
menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan.
b) Ruptur uteri trumatik
Terjadi pada persalinan,
timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstragksi farsep, ekstraksi
vakum, dll.
c) Rupture uteri pada bekas
luka uterus
Terjadinya spontan atau
bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus.
d. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan
pada robekan jalan lahir, yaitu dengan tindakan penjahitan sebagai brikut :
1) Penjahitan robekan
serviks
2) Penjahitan robekan
vagina dan perineum
3) Penjahitan robekan
derajat I dan II
4) Penjahitan robekan
perineum derajat III dan IV
5) Perbaikan rupture uteri.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Vivian Nanny Lia dan Tri
Sunarsih.2012. Asuhan Kebidanan pada Ibu
Nifas. Jakarta : Salemba Medika
JNPK-KR.2008.Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini
Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri. jilid 1 edisi 2. Jakarta. EGC
Noviyana, Alfi. 2010. Prinsip Deteksi Dini Ibu Dengan Kelainan,
Komplikasi, Penyakit Dalam Kehamilan, Persalinan Dan Masa Nifas. Purwokerto (http://digilib.ump.ac.id/download.php?id=18
diakses pada tanggal 8 April 2015 )
Sari, Eka Puspita dan Kurnia Dwi
Rimandini.2014. Asuhan Kebidanan Masa
NIfas ( Postnatal Care ).Jakarta. TIM
Sukarni, Icesmi dan Margareth. 2013. Kehamilan, Persalinan, dan Nifas.
Yogyakarta. Nuha Medika
Sulistyawati, Ari.2009.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta:
Andi
Wiknjosastro, dkk,2009, Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina pustaka
sarwono prawirohardjo
Wiknjosastro, dkk,2011, Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina pustaka
sarwono prawirohardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar